Pekerja, tidak hanya identik dengan kelas atas, tetapi kelas bawah, semisal buruh. Terdapat buruh migran, yang mana menjadi penyumbang devisa negara secara besar. Dari perbedaan tersebut, dimulailah Kongres Diaspora Indonesia.
Bisa kita lihat dalam kongres kemarin (di tahun 2021), yang mana dilakukan secara virtual. Beda dengan tahun kemarin, yang dilakukan secara offline, bersamaan dengan mudik maupun pulang kampung. Kongres ini, dilakukan setiap 2 tahun sekali, pastinya membahas tentang pekerjaan.
Diaspora Indonesia
Dengan adanya perbedaan antara pekerja kelas atas dan bawah (buruh), memunculkan diaspora yang mana perlu diperbincangkan secara bersama dengan topik pekerjaan dan demi kesejahteraan bersama. Aksi dari Kongres ini, jika dilihat secara historis cukup panjang, bisa kita ambil dalam satu dekade ini.
Perbincangan publik mengenai diaspora Indonesia, baru muncul akhir-akhir ini. Munculnya wacana diaspora, tak lepas dari isu kontestasi politik beberapa tahun lalu (menjelang 2014), dan isu ini diangkat untuk manarik popularitas politik dengan mengatasnamakan aspirasi politik kaum diaspora Indonesia.
Perbincangan akan diaspora Indonesia, selalu dikaitkan dengan politik, karena memiliki bias dalam hal itu, termasuk ada bias kelas juga. Basisnya dimulai dari politik kolonialisme, politik kekuasaan, dan ekonomi-politik. Hal yang bisa kita lihat, adalah dalam politik pembuangan kolonial.
Awal Munculnya Diaspora Indonesia
Lanjutan dari peristiwa politik kolonial zaman dahulu, dalam mempekerjakan pegawai, buruh, membuat munculnya diaspora dari situ. Basis ekonomi kolonial Belanda saat itu adalah kapitalisme perkebunan. Bisa kita ambil contoh, dalam mobilisasi pekerja Jawa ke Suriname dan Kaledonia Baru.
Hal ini, membentuk enclave diaspora Indonesia terbesar hingga hari ini. Sejak masa dekolonisasi politik Benteng, peristiwa 1965 dan peristiwa 1998, juga menyebabkan terjadinya pergerakan secara massif etnis oleh orang Tionghoa yang sebenarnya sudah memiliki akar historis tinggal di Indonesia.
Munculnya keribuan warga Indonesia yang sebagian besar adalah eks mahasiswa tugas belajar di zaman Soekarno. Bagi lulusan diplomat juga harus jadi warga di tanah pengasingan (eksil) karena dicabut paspornya. Ini adalah jejak diaspora Indonesia yang selama ini diabaikan eksistensinya oleh negara kita.
Pekerja Migran
Pekerja migran, adalah mayoritas diaspora Indonesia yang dianggap sebelah mata. Hal tersebut karena mereka memiliki upah dan keterampilan yang rendah. Dari situ, mereka tidak masuk ke dalam kategori pekerja yang “profesional” dan “ekspatriat”.
Kerentananm atau risiko yang mereka hadapi sehari-hari, adalah mulai dari kasus pengupahan, kekerasan, perkosaan, hingga kematian. Hal tersebut, dianggap beban dari tugas diplomat Indonesia. Hal ini, dan menjadi indikator dalam “turunnya martabat dan harga diri bangsa”.
Cara pandang yang diskriminatif ini, menyebabkan “kaum profesional dan ekspatriat” sebagai diaspora Indonesia wangi enggan disamakan dengan pekerja migran Indonesia. Aspirasi ini, dijadikan tuntutan dalam Kongres Diaspora Indonesia.
Tanggapan Pemerintah
Pemerintah Indonesia sendiri, melalui Kementerian Luar Negeri, juga menggelar karpet merah untuk aspirasi diaspora Indonesia. Salah satunya, menyediakan desk khusus diaspora Indonesia dan menerbitkan kartu diaspora Indonesia dengan nama Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN).
Hal ini, merespon tuntutan yang selama ini disuarakan dalam setiap Kongres Diaspora Indonesia yang ada. Namun, dari klaim jumlah diaspora Indonesia sebanyak delapan juta orang, tak lebih dari dua ribu yang mendaftar kartu ini, sangat disayangkan.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa, Kongres Diaspora Indonesia sudah selayaknya mengakhiri watak elitisme dan bias kelas yang ada, berkontribusi untuk mengakhiri stigma yang menjadi beban politik diaspora Indonesia akibat sejarah kelam yang ada.
Begitulah kehidupan buruh berdasi dan biasa, yang bisa dijadikan satu dalam Kongres Diaspora Indonesia.